Home » » LUDRUK LEKRA MELAKONKAN “MATINYA GUSTI ALLAH”

LUDRUK LEKRA MELAKONKAN “MATINYA GUSTI ALLAH”


ludruk kirun cs

Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra, berdiri 1950) mengadakan kongres yang pertama di Taman Sriwedari Solo pada 27 Januari 1959, dua bulan sebelum saya lahir. Setelah itu terbentuklah struktur organisasi mantel PKI dalam bidang kebudayaan ini dengan Sekretaris Umum Lekra Yoeboer Ayub, semula dijabat AS Dharta. Hampir setiap tahun saya mengunjungi tempat ini, bukan untuk mengenang Kongres Lekra, tetapi setiap menjelang hari raya, keluarga saya selalu mendatangi Pasar Malem Sriwedari yang ramai dan meriah. Apalagi kalau hari raya, orang akan menyindir, “sana halal bihalal dengan gajah dulu!”
Taman Sriwedari sebelumnya bernama Kebon Raja, Taman Raja. Jadi di situ ada kebun binatang, ada danau kecil dengan pulau di tengahnya. Ada gedung wayang orang, gedung ketoprak, restoran, warung makan, kios mainan anak-anak, cendera mata, pakaian, kerajinan rakyat, dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Jadi Taman Sriwedari, selain menjadi taman rekreasi kemudian pasar, sekaligus tempat tempat hiburan. Lengkap sebagai jujugan (destination) orang Solo dan sekitarnya.
Setelah Kongres, Lekra memperkuat struktur organisasi, merubah Mukadimah Lekra, dan menonjolnya semboyan “Politik sebagai Panglima” (dicetuskan Nyoto, Wakil Ketua CC PKI). Harian Rakyat (koran PKI), 8 Maret 1962 menulis, “Lekra adalah organisasi seniman-seniman pejuang atau pejuang-pejuang seniman. Sesuai dengan isi ini, Lekara selalu berlawan, berlawanan terhadap ketidakadilan, berlawan terhadap kepalsuan, berlawan terhadap yang lama adalah syarat untuk membangun yang baru. Untuk memakai istilah Manipolis, Lekra selalu menjebol dan membangun.”
Lekra punya garis organisasi yang mereka pegang teguh, yaitu asas dan metode kerja 1-5-1. Yaitu 1 [Politik adalah penglima – 5 [Memadukan kreatifitas individu dengan kearifan massa, Meluas (sebarannya) dan meninggi (kualitasnya), Tinggi mutu artistik dan ideologi, Memadukan tradisi baik dengan kekinian revolusioner, Memadukan realisme revolusioner (semula realisme sosialis) dengan romantisme revolusioner] – 1 [Turun ke bawah atau turba melalui wawancara, investigasi mendalam terkait dengan kondisi dan harapan masyarakat].
Seingat saya, Lekra/PKI sangatlah getol mengadakan pertujukan tradisional di lapangan dan tempat-tempat umum. Khususnya pertunjukan ketoprak, wayang orang, dan sesekali ludruk dari Jawa Timur. Sebelum mulai mereka menyanyi lagu “Genjer-genjer” dan juga diakhir dengan lagu yang aslinya berasal dari Banyuwangi ini. Sebagai anak kecil saya senang menonton keramaian, tetapi setelah besar saya mendapat cerita bahwa lakon ketoprak yang dipertunjukkan sering kali menghina agama Islam. Seperti Lakon Patine Gusti Allah, Gusti Allah dadi manten, Malaikat Kimpoi (Bersetubuh). Lakon ludruk di Jawa Timur juga mempertujukan serupa, Gusti Allah Mboten Sare (Tuhan tidak tidur) dan Matine Gusti Allah (Matinya Tuhan). Lakon terakhir ini membuat seorang anggota Banser Anshor marah, seorang diri dia mengobrak-abrik pentas dan bubarlah pertunjukkan itu.
Sementara di kalangan sastra, sebagaimana diulas oleh Yahya Ismail, sarjana sastra dari Malaysia yang pertama menulis Lekra secara ilmiah, “Pertumbuhan, Perkembangan dan Kejatuhan Lekra di Indonesia” (1972); pengarang Lekra membawakan tema-tema anti-ulama Islam yang dilukiskan sebagai tuan tanah yang kejam, pemeras. Tokoh haji sering kali dijadikan bahan ejekan dan bahan hinaan..... mereka dianggap bodoh, picik serta ketinggalan zaman. Tokoh haji ini diungkapkan pada karya Utuy Tatang Sontani, yaitu “Sayang ada orang lain” dan “Si Kampeng dan Si Sapan”. Pramoedya Ananta Toer menulis “Sekali Peristiwa di Banten Selatan” yang memperkenalkan watak Musa sebagai pemeras rakyat dan simpatisan Darul Islam.
Lekra menyerang penanda tangan Manifesto Kebudayaan, sehingga dilarang pada 8 Mei 1965, tepat ketika saya umur 5 tahun. Kemudian memfitnah Hamka sebagai plagiator, menuduh para dosen di universitas sebagai reaksioner anti-Manipol. Apa yang dilakukan Lekra adalah sejalan dengan politik PKI, karena itulah Ayip Rosidi menyimpulkan bahwa “Lekra bagian dari PKI”. Namun sayangnya, Majalah Tempo karena ingin menarik banyak pembaca muda, meletakkan Lekra di daerah abu-abu, seperti menyebut Pram bukan anggota PKI, meski diakui sebagai bagian dari Lekra.
Kita menjadi was-was. Karena itulah, tulisan ini untuk melawan lupa.
NB : goresan pena ini hanya untuk mengingatkan kita dan meluruskan sejarah agar jangan sampai terjadi lagi...maafkan musuhmu tp jangan lupakan kesalahan-kesalahannya.
Repost :
https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=1633623953582071&id=100008034461844
Thanks for reading LUDRUK LEKRA MELAKONKAN “MATINYA GUSTI ALLAH”

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

1 komentar: